Di malam hari raya Idulfitri, hari terakhir bulan Ramadan, setiap keluarga muslim akan sibuk dengan segala persiapan untuk perayaan esok hari. Salah satu yang pasti adalah menyiapkan berbagai hidangan untuk seluruh keluarga. Coba tengok ke dapur, berapa banyak macam hidangan yang sedang atau telah disiapkan? Mungkin sudah tersaji opor ayam dengan santan yang kental, sambal goreng ati, rendang dengan daging yang empuk, atau hidangan lain khas hari raya, tidak lupa ketupat dan lontongnya juga.
Sambil menyiapkan, atau menikmati segala hidangan hari raya, cobalah kita membaca kisah dari keluarga Ali bin Abi Thalib, bersama istrinya Fatimah Az-Zahra, serta Hasan dan Husein (kedua anak mereka).
Dikisahkan, usai salat Asar di hari terakhir Ramadan, Ali pulang dari masjid. Ia merasa sedih karena ramadan akan segera berakhir.
Sesampainya di rumah, ia disambut sang istri tercinta Fathimah Az-Zahra dengan pertanyaan penuh perhatian. “Kenapa engkau terlihat pucat, kekasihku,” demikianlah sapa Sayyidah Fatimah. “Tak ada tanda-tanda keceriaan sedikitpun di wajahmu, padahal sebentar lagi kita akan menyambut hari kemenangan?”
Ali hanya terdiam lesu. Tak berapa lama kemudian ia meminta pertimbangan istrinya untuk menyedekahkan semua simpanan pangannya kepada fakir miskin. “Hampir sebulan kita mendapat pendidikan dari Ramadan, bahwa lapar dan haus itu teramat pedih. Segala puji bagi Allah, yang sering memberi hari-hari kita dengan perut terisi.”
Begitulah, maka pada sore itu juga, beberapa jam sebelum takbir berkumandang, Ali ibn Abi Thalib terlihat sibuk mendorong pedatinya, yang terdiri dari tiga karung gandum dan dua karung kurma hasil dari panen kebunnya. Ia berkeliling dari pojok kota dan perkampungan untuk membagi-bagikan gandum dan kurma itu kepada fakir miskin dan yatim-piatu.
Sementara istrinya, Sayyidah Fathimah az-Zahra, sambil menuntun dua putranya Hasan dan Husein (cucu Nabi), nampak memegang kantong plastik yang besar. Mereka sekeluarga, mendatangi kaum fakir miskin untuk disantuni. Begitulah mereka berjalan sampai larut malam. Bibirnya bertakbir, tangannya membagikan santunan bagi kaum fakir.
Esok harinya tiba salat Idulfitri, Sayyidina Ali naik mimbar dan berkutbah di Masjid Qiblatain. Potongan isi kutbah itu di antaranya tentang beberapa tanda-tanda orang yang mendapatkan “taqwa” dari puasanya yang sebulan penuh, “Yaitu mereka yang peka hati nuraninya, sehingga menggerakkan tangannya untuk peduli kepada sesama, berbagi rezeki, berbagi kebahagiaan, berbagi senyuman yang hangat, sebab kita semua sudah merasakan, bahwa lapar dan dahaga itu sesuatu yang berat.”
Setelah Salat ‘Id selesai dan hari masih sangat pagi, sahabat beliau, Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad Ad Du’ali berkunjung dan bermaksud mengucapkan selamat Idulfitri kepada keluarga Rasulullah SAW tersebut.
Setelah tiba di sana, dan pintu terbuka, betapa terkejutnya mereka karena hidung dua karib ini mencium aroma tak sedap, dari nampan yang berisi gandum dan roti kering yang sudah tak layak makan. Sayyidina Ali, Fatimah Az-Zahra dan kedua anaknya dengan lahap menyantap makanan itu. Seketika itu Ibnu Rafi’i dan dan Al Aswad Ad-Du’ali berucap istighfar, sambil berpelukan dan menangis, karena ada rasa sesak dan nyeri di dada mereka berdua. Merasa tak kuat melihat pemandangan itu, mereka kemudian berpamitan sebelum berpelukan. Mereka pun pergi menjauh dari pemandangan menggetarkan itu.
Idulfitri yang seharusnya penuh suka cita, tapi pagi itu mereka bersedih. Sementara Abu Al Aswad Ad Du’ali, terus bertakbir di sepanjang jalan, kecamuk dalam dadanya sangat kuat, setengah lari ia pun bergegas menghadap Rasulullah SAW. Tiba di depan Rasulullah, ia pun mengadu, “Ya Rasulullah. Putra baginda, putri baginda dan cucu baginda,” ujar Ad Du’ali terbata-bata.
“Tenangkan dirimu, ada apa wahai sahabatku?” kata Rasulullah menenangkan.
“Segeralah ke rumah menantu dan putri baginda, Ya Rasulullah.”
“Ada apa dengan keluargaku?”
“Saya tak kuat menceritakan itu sekarang, lebih baik baginda menengoknya…”
Tak berpikir lama, Rasulullah pun segera menuju rumah putrinya. Tiba di halaman rumah, semuanya nampak baik-baik saja. Bahkan tawa bahagia yang terdengar, mengisi percakapan antara Sayyidina Ali, Sayyidatuna Fathimah dan kedua anaknya.
Tak berapa lama, mata Rasulullah pun basah, beliau terharu sebab ia sendiri melihat bekas-bekas makanan basi yang sudah disantap keluarga itu dan baunya masih tercium menyengat.
“Ya Allah, Allahumma Isyhad. Ya Allah saksikanlah, saksikanlah,” demikian bibir Rasulullah berbisik lembut.
Sayyidatuna Fathimah tersadar kalau di luar pintu rumah, ayahnya sedang berdiri tegak. “Abah, kenapa engkau biarkan dirimu berdiri di situ, tanpa memberi tahu kami? Oh, relakah abah menjadikan kami anak yang tak berbakti?” Berondong Fathimah spontan, lalu mencium tangan Abahnya dan mengajak abahnya ke ruang tamu.
“Kenapa Abah menangis?” Rasulullah tak tahan mendengar pertanyaan itu. Setengah berlari ia memeluk putri kesayangannya sambil berujar, “Semoga kelak surga tempatmu Nak. Surga untukmu.” Mereka yang ada di situ lalu menjawab bersama-sama, “Allahuma Aaamin”.
Air mata Rasulullah tiba-tiba mengucur deras, saat melihat sendiri dengan matanya akan kesederhanaan dan kebersahajaan puteri beliau bersama keluarganya.
Di hari Idulfitri, di saat semua orang berkumpul, berbahagia dengan hidangan aneka macam kuliner, keluarga Rasulullah cukup tersenyum bahagia dengan gandum dan sepotong roti basi yang baunya tercium tak sedap. Bahkan dikisahkan juga bahwa Ad-Du’ali sendiri menyaksikan, ternyata keluarga itu masih menyimpan sedikit kurma yang layak dikonsumsi untuk menyambut tamu yang datang. Demikianlah kesaksikan ad-Duali dan Ibnu Rafi’i atas keluarga Rasulullah SAW pada hari raya Idulfitri.
Ibnu Rafi’i berkata, “Itulah salah satu dampak pendidikan Ramadan bagi keluarga Nabi, dan aku diperintahkan oleh Rasulullah SAW agar tidak menceritakan tradisi keluarganya setiap Idulfitri. Aku pun simpan kisah itu dalam hatiku. Namun, setelah Rasulullah wafat, aku takut dituduh menyembunyikan hadis, maka aku ceritakan agar jadi pelajaran bagi segenap kaum Muslimin untuk benar-benar bisa mengambil hikmah dari madrasah Ramadan.” (Musnad Imam Ahmad, jilid 2).
Pada akhirnya, mari kita tengok ke dapur atau meja makan, kita syukuri bersama atas apa yang telah terhidang. Mungkin di luar sana, masih banyak yang belum merasakan atau menikmati hidangan seperti kita.
Mari tengok juga ke masjid, mungkin di sana sedang ada kesibukan yang tidak biasa. Para remaja atau pengurus masjid sedang sibuk menyiapkan dan membagikan zakat ke orang-orang yang berhak menerimanya.
Diriwayatkan dalam kitab Sirrah Ashabu an-Nabi, karya Syekh Mahmud al-Misri dan Syiar A’lam An-Nubala’, karya Imam Adz-Dzahabi.
Oleh: A. W. Priatmojo
Pegiat literasi di Gerakan Menulis Buku Indonesia
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1440 H. MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.
_________________________________
Program Penerbitan Buku Gratis dan Penghargaan untuk Pendidik di Indonesia