Tidak seberapa terang, ketika tarikan asap kehidupan berasumsi pada vibrasi senayan malam itu.
Bayangan demi bayangan lewat dengan kertas bertuliskan “beli” ditenteng penuh gaya seakan ibu bapaknya pemilik seribu hektar tanah negara.
Segerombol bapak di samping, demam membicarakan zaman. Berbicara perihal tidur dan pinggir jalan, kontrakan dan perantauan. Jayabaya dan Louis Vuitton. Akik dan makanan instan dengan sendok dan pisau.
Mama besok adek waktunya bayar asuransi mobil. Tiga orang, tidak jelas mukanya. dengan pakaian putih bawahan kain hitam, kacamata tebal dan gelang bekas nonton konser kemarin, bertengkar sambil menyeberang dan menyerukan, beli saya saja Om!
Telinganya tidak berhenti mendengar, kata-kata tentang perdebatan siapa, disampaikan anak usia 3 tahun tentang menangis dan minta makan. Sedangkan mobilnya sedang diparkir di antara nyawa orang-orang daerah yang membangun lokasinya.
Tidak lama, segerombolan bapak berkumis lebat itu pergi. Yang satu menjemput pemberi rejeki, yang satu bercanda dengan angin, dan yang satu duduk, menunggu bayangan lain hinggap di kepulan asap sampoernanya.