(Penulis, Co-founder Nyalanesia)
Film Freedom Writers (2007) garapan Richard LaGravenese, mungkin bisa menjadi salah satu bukti betapa besar peranan pendidik dan literasi bagi pembangunan karakter siswa-siswinya. Film ini diangkat dari kisah nyata seorang guru bernama Erin Gruwell yang mengajar di suatu sekolah, di mana ia harus berhadapan dengan siswa-siswinya yang bermasalah: sering terlibat perkelahian antargeng rasial. Erin Gruwell, seorang wanita idealis berpendidikan tinggi, datang ke Woodrow Wilson High School sebagai guru Bahasa Inggris untuk kelas khusus anak-anak korban perkelahian antargeng. Tujuan Erin sangat mulia, ingin memberikan pendidikan layak bagi anak-anak bermasalah yang bahkan guru lebih berpengalaman di sekolah itu menepikan dan enggan mengajar mereka.
Di hari pertamanya mengajar, ia menyadari bahwa perang antargeng yang terjadi di kota tersebut, juga terbawa sampai ke dalam kelas. Di dalam kelas, mereka bahkan duduk berkelompok menurut ras masing-masing. Awal mengajar, Erin lebih banyak menerima penolakan dan tidak dianggap ketika mengajar.
Hingga suatu hari, Erin mencoba mencari cara baru untuk mengajar. Ia mencoba menaklukkan murid-muridnya dengan meminta mereka menulis jurnal harian. Di jurnal harian itu, mereka boleh menulis apa pun yang mereka inginkan, rasakan, dan alami setiap harinya. Selain itu, Erin juga menceritakan buku yang berisi kisah anak-anak lain di belahan dunia lainnya, termasuk kisah dari Anne Frank (korban kejahatan Holocaust) dalam Diary of Anne Frank.
Cara ini ternyata berhasil. Jurnal harian dari siswa-siswinya setiap hari kembali pada Erin dengan tulisan mereka tentang apa yang mereka alami dan mereka pikirkan setiap hari.
Dari jurnal harian itu, Erin paham ia harus membuat para siswanya sadar bahwa perang antargeng yang mereka alami bukanlah segalanya di dunia, bukanlah penghambat untuk mencapai cita-citanya. Melalui cara mengajarnya yang unik, ia berusaha membuat para siswanya sadar bahwa dengan pendidikan, mereka akan bisa mencapai kehidupan yang lebih baik. Jurnal harian siswa-siswinya itu pada akhirnya dikumpulkan oleh Erin Gruwell dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Buku tersebut akhirnya juga menjadi salah satu buku Best Seller di Amerika Serikat.
Sekarang, mari tengok keadaan pendidikan Indonesia di masa pandemi saat ini. Sudah hampir dua tahun pandemi menyerang, dan masih banyak sekolah yang menerapkan kegiatan belajar-mengajar secara daring untuk mengurangi penyebaran koronavirus. Beberapa daerah mungkin sudah sempat menerapkan PTM (Pembelajaran Tatap Muka) sebelumnya, namun karena adanya virus varian Omicron ini, maka banyak daerah yang kembali menghentikan PTM bagi sekolah-sekolahnya. Sudah sekian lama pembelajaran daring dijalankan. Di masa pandemi ini, guru mesti mengajar dengan cara baru; siswa mesti belajar dengan cara yang tidak seperti biasanya. Belum lagi, melihat para pendidik dan siswa-siswi kita yang sudah merasa jenuh dan bosan dengan pembelajaran daring. Kita saat ini tengah menghadapi tantangan cukup berat untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di masa pandemi.
Literasi Menjadi Terapi
Kegiatan literasi, dalam hal ini membaca dan menulis, selain berguna untuk pembangunan karakter dan pengembangan diri, juga dapat berguna sebagai rekreasi. Kegiatan membaca dan berkarya (dalam hal ini menulis) dapat juga menjadi pemberhentian sejenak dari segala masalah, hambatan, dan tantangan di masa pandemi ini.
Kegiatan membaca, bisa menjadi jendela bagi kita untuk merasakan atau mempelajari pengalaman negara lain saat menghadapi pandemi. Dan, kegiatan membaca bisa menjadi cara untuk bertamasya ke segala penjuru dunia, di tengah keterbatasan kita untuk tetap berada di rumah.
Membaca bisa membawa kita menembus batas-batas yang kita hadapi saat masa pandemi. Sedangkan kegiatan menulis, dapat menjadi media kita untuk mengeluarkan segala penat dan melepaskan segala beban yang kita panggul selama pandemi melanda.
Lalu, mari kita kembali membayangkan yang telah dilakukan Erin Gruwell untuk membantu siswa-siswinya keluar dari permasalahan perang antargeng. Permasalahan perang antargeng itu bisa juga kita bayangkan sebagai pandemi koronavirus yang kini tengah membahayakan siswa-siswi kita. Dengan membaca atau menonton kisah itu kembali, saya semakin yakin, bahwa para pendidik Indonesia dapat melewati masa pandemi ini dan menyelamatkan generasi muda kita hingga menuntunnya ke masa depan yang menyala!
Program Pengembangan dan Pembinaan Literasi Sekolah (BANPELIS)
Nyalanesia berkomitmen untuk senantiasa memberi ruang dalam upaya memajukan pendidikan dan literasi di Indonesia. Di masa pandemi ini, Nyalanesia juga meluncurkan Program BANPELIS yang merupakan sebuah program yang memfasilitasi dan mendampingi sekolah-sekolah untuk mengembangkan program literasinya selama 3 tahun kemitraan.
Melalui program ini, sekolah yang menjadi Mitra Program akan mendapatkan fasilitas pendampingan, penerbitan buku, serta pelatihan dan sertifikasi kompetensi untuk seluruh siswa dan guru.
Mengusung semangat berkompetisi, berbagi, dan menginspirasi, melalui program ini, sekolah-sekolah mitra akan mendapatkan fasilitas-fasilitas di antaranya: pelatihan terpadu yang mendorong peningkatan pengetahuan, motivasi dan kompetensi; berbagai sertifikat dan piagam untuk setiap keikutsertaan workshop, event serta buku yang telah terbit; mendapat pendampingan pengembangan program-program literasi tepat guna untuk diterapkan pada masing-masing sekolahnya; dan berbagai fasilitas lainnya.
Cek info lengkap BANPELIS hanya di: www.banpelis.id