MACBOOK AIR, DAN PENTINGNYA UNTUK SEKALI-KALI MENGKAJI ULANG GAGASAN UNTUK MENJADI KAYA RAYA
Ibu saya adalah ibu terbaik di dunia. Ibu-ibu lain melahirkan seorang anak, ibu saya melahirkan seorang legenda. Ya. Anda boleh mencemooh saya. Tapi itulah yang benar-benar terpatri dalam benak saya.
Sejak kanak, saya dididik untuk tak lelah belajar dan mengaji. Pun saya masih ingat. Di antara keterbatasan ekonominya, ibu saya kerap mengambil uang dari dompet kecilnya (dengan total isi yang sungguh tidak seberapa), lalu menggenggamkan uang tersebut ke tangan saya, untuk dituntun dan mengulurkannya pada tangan-tangan peminta-minta, atau toples-toples penadah sumbangan pembangunan mushola. Dan juga, tidak peduli berapapun biayanya (dan sumbernya dari mana), bersama bapak saya, ibu saya selalu berjuang untuk menyekolahkan saya di sekolah terbaik yang diyakininya.
Selama 25 tahun, saya dididik mati-matian (terkadang dengan cara yang agak kolot, tapi selalu penuh cinta) untuk menjadi pribadi yang akrab dengan berbagi, bermanfaat bagi sesama, sekaligus agar dapat menjadi kebanggaan dan andalan bagi orang-orang di sekeliling saya.
Itulah sebabnya, meski sebelum lulus saya telah mendapatkan beberapa tawaran pekerjaan yang sesuai dengan kriteria saya, namun saya memilih untuk menumbuh-kembangkan Gerakan Menulis Buku Indonesia. Bersama kawan-kawan yang kurang lebih segendeng saya, kami memfasilitasi setiap pelajar, mahasiswa, dan pendidik di Indonesia untuk berkarya dan menginspirasi dunia dengan gagasannya. Itu semua, berkat ibu saya. Yang kadang-kadang, membuat saya ingin dilahirkan lebih cepat, hanya untuk mengambil kesempatan menikahinya. Betapa beruntung dan hebatnya bapak saya?
Tapi, sungguh sayang. Dalam hidup, ibu saya telah mengajarkan semua hal mendasar yang saya butuhkan, kecuali: menjadi kaya. Di hari dimana anak-anak kelas 3 SD sudah berdoa agar punya banyak uang guna membeli Skin untuk Hero di game Mobile Legend-nya, atau membeli kuota internet berlimpah untuk menggali referensi idola Tik-Tok-nya, siapa sih yang nggak punya cita-cita untuk kaya?
Saya rasa, (nyaris) tidak ada. Betapa pentingnya menjadi kaya saat ini? Akan tetapi, entah mengapa ibu saya lupa mengajarkan hal ini.
Lahir di Jawa Timur, yang dikenal produktif melahirkan orang-orang yang memiliki daya juang tinggi, tentu juga membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki cita-cita menjulang berikut seperangkat daya juang yang tak mudah diciutkan. Sejak sekolah, ketika saya pengen A, maka saya hanya akan berhenti memikirkan dan berjuang mati-matian sampai saya mendapatkan A. Mulai dari Tamiya, jaket 3 Second, sepatu futsal Nike, juara turnamen futsal, juara lomba menulis, hingga cita-cita untuk memiliki pacar yang cantik dan baik hati. Semuanya saya perjuang-dapatkan dengan sepenuh hati.
Seiring bertambahnya pengalaman dan wawasan, ditunjang perbaikan selera yang signifikan, tidak bisa dipungkiri, daftar keinginan saya terus memanjang dan meninggi seperti tanpa henti. Syukur alhamdulillah, Allah SWT masih menjaga saya. Rangkaian daftar cita-cita saya masih didominasi oleh hal-hal yang berkaitan dengan tugas saya sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin. Semisal, mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak nakal, membuat platform pinjaman tanpa riba, atau menargetkan 25 juta pelajar menulis buku dalam 8 tahun ke depan bersama Tim GMB-Indonesia.
Masalahnya, selain hal-hal (yang menurut saya memang layak untuk diperjuangkan) di atas, perlahan, saya juga mulai menginginkan mansion di tepi pantai dan Lamborghini dalam 10 tahun lagi. Juga laptop setipis dan sekeren Macbook Air untuk saat-saat ini. Saya tidak tahu dengan pasti, apakah mansion dan Lamborghini adalah sebuah rezeki yang baik jika diamanatkan Tuhan suatu saat nanti. Tapi yang jelas, Macbook Air yang kini saya gunakan untuk menulis cerita ini, sungguh memberikan kebermanfaatan yang luar biasa. Meskipun, tidak seperti yang saya duga sebelumnya.
Apakah ada di antara kawan-kawan yang pernah menggunakan Macbook Air? Bagaimana? Mantap jaya kan performanya? Steve Jobs memanglah karunia bagi dunia teknologi dan produktivitas. Namun, jelas, saya tidak akan membahas soal tampilannya yang elegan atau spesifikasinya yang ciamik.
Saya cuma mau bilang, memiliki Macbook Air berarti kamu memiliki sebuah laptop yang sangat mudah dibawa kemana-mana, sehari nge-charge-nya sekali saja, multitasking kuat berapapun juga, tidak perlu di-shutdown alias tinggal tutup layarnya dan buka lagi secara berulang-ulang dalam beberapa bulan juga nggak papa, dan kamu tidak perlu terlalu khawatir ada virus yang mengganggu data dan sistemnya.
Yap. Nyaris sempurna. Khususnya bagi saya. Yang setahun sebelumnya, hanya berbekal notebook Asus senilai 1,5 jutaan yang lemotnya sungguh tidak karuan.
Tidak semua rezeki berbentuk kekayaan. Dan tidak semua kekayaan berarti rezeki yang dengan penuh keridhoan diamanatkan Tuhan. Pada awalnya, saya bersyukur dan menafsir bahwa Macbook Air ini adalah rezeki yang (kebetulan) berbentuk ‘kekayaan’ yang diamanatkan Tuhan.
Tapi ternyata, tidak. Lebih dari itu, ini adalah rezeki yang sangat luar biasa yang dihadirkan Tuhan dalam bentuk pemaknaan. Rezeki yang mewujud bekal pelajaran yang menyelamatkan saya dari masa depan yang bisa saja menjelma lingkaran setan. Sebelum Anda berjuang mati-matian untuk menjadi kaya raya agar bisa memiliki ini-itu, membeli ini-itu, ada baiknya, dengarkan cerita singkat saya dulu. Barangkali, sebagaimana Macbook Air yang saya miliki, kisah ini bisa menyelamatkan masa depan Anda lebih dini.
SESUNGGUHNYA, STANDAR YANG TINGGI, MEMPERSULIT KITA UNTUK BERSYUKUR ATAS APA YANG TELAH KITA MILIKI.
Waktu itu, saking gemesnya, Mac ini pernah saya berikan secara cuma-cuma kepada kawan saya. Tapi lucunya, dia menolaknya. Terlalu tiba-tiba dan janggal, katanya.
Mac ini, bekerja dengan sangat cepat dan meningkatkan produktivitas saya. Tentu ini menyenangkan. Tapi berkat Mac ini, saya lebih kerap mengumpat dalam hati. Bagaimana tidak? Berhubung saya hampir selalu bekerja dalam tim, sering kali saya harus mengecek, membenarkan, bahkan sesekali mengerjakan ulang suatu pekerjaan di laptop-laptop milik rekan se-tim saya.
Awalnya, Mac adalah laptop yang terasa lebih memudahkan dan cepat untuk digunakan dalam bekerja. Tapi lama-lama, percayalah, Mac ini menjadi biasa saja. Dan yang akan kamu rasakan, justru betapa sungguh lemot dan ribetnya laptop-laptop milik teman-temanmu. Itulah yang benar-benar saya rasakan, hingga sempat dalam beberapa bulan saya kerap mengumpat dalam hati ketika saya terpaksa harus menggunakan laptop-laptop rekan saya.
Padahal, ketika masih bersama notebook Asus saya, kejadiannya justru sebaliknya. Saya pasti merasa bahagia dan bersyukur ketika saya ‘terpaksa’ menggunakan laptop rekan saya, yang notabene lebih cepat dan lebih canggih dari notebook saya. Siapapun boleh untuk berkata bahwa sayalah yang seharusnya lebih pandai untuk bersyukur. Tapi kadang-kadang, itu tidak semudah yang dibayangkan.
Perihal mensyukuri kecanggihan Macbook ini, hampir sama persis dengan mensyukuri kesehatan. Jauh lebih mudah untuk menyesal dan instropeksi diri ketika sakit, daripada bersyukur saat kita sedang sehat seperti biasanya. Mungkin itulah juga kenapa, sebagian orang lebih mudah bersedih bahkan marah atas ‘kekafiran’ orang lain, daripada mensyukuri nikmat imannya sendiri. Nikmat iman yang seharusnya wajib kita bagikan dengan mereka yang belum merasakan. Bukan justru bertingkah mengutuki dan membenci mereka.
Nah, itu hanyalah sebuah Macbook Air yang diam-diam menggerogoti kesederhanaan saya dalam bersyukur. Bagaimana dengan lainnya? Saya jadi ingat kejadian lucu bertahun lalu. Ketika pertama kalinya desa saya diaspal, orang-orang di desa saya begitu kegirangan, yang sebagian dirayakan dengan cara yang kurang masuk akal. Jalan yang sebelumnya berbatu dan becek di kala hujan, lalu disulap menjadi halus bak pipi perawan, tak ayal membuat orang-orang di desa berkerumun menikmati indahnya jalanan.
Anak-anak kecil ke sana ke mari mengendarai sepedanya. Orang-orang mulai bercengkerama girang sambal duduk-duduk di atas aspal yang telah lama mereka harap-nantikan. Seingat saya, tak sedikit juga yang menyentuhkan telapak tangan dan kakinya ke aspal jalanan. Bahkan, ada yang menempelkan pipinya! Itu semua mereka (lebih tepatnya, kami) lakukan, tidak lain dan tidak bukan, dalam rangka mensyukuri dan menikmati kehangatan aspal yang perlahan menjalar ke sekujur badan.
Tapi, itu bertahun lalu. Kini, aspal kami telah banyak berlubang di sana-sini. Dan mereka (lebih tepatnya, kami) mulai mengeluhkan dan menuntut pemerintah untuk segera memperbaiki jalanan aspal yang ‘tak lagi’ menjelma menjadi rezeki ini.
Sebagian dari kita, dulu pasti pernah berharap dan berdoa untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika awal-awal mendapatkan, syukur seketika kita panjatkan. Tapi beberapa waktu berlalu, kita mulai mengeluh ini-itu. Kerja yang membosankan, teman sejawat yang agak ‘sak penak e dewe’ dan kurang mengasyikan, atau jumlah transfer gaji yang tak kunjung berubah sebagaimana yang kita harapkan.
Punya kawan yang berprofesi sebagai guru? Percayalah, di antara mereka ada yang masih menjadi Guru Honerer yang setiap hari berdoa agar dapat tambahan mengajar, dan di sisi lain, ada Guru PNS Sertifikasi yang mengeluhkan banyaknya tugas administrasi dan berbagai tuntutan pekerjaan yang mengganggu ketenangan waktu santap malam. Tapi di sisi yang lainnya lagi, ada mahasiswa jurusan keguruan yang baru berharap segera menyelesaikan skripsi agar dapat segera terdaftar menjadi Guru Honorer di sembarang sekolah beberapa bulan lagi nanti. Daaan, di sisi yang jauh berlainan lagi, ada tokoh DPR yang sudah kaya, punya istri jelita, punya kehormatan, tapi masih merasa kurang dengan memilih jalan korupsi sebagai jalan pewujud kebahagiaan. Adakah ini adalah lingkaran setan???
Kompetensi bersyukur memang mutlak harus kita asah dan upgrade kualitasnya sepanjang waktu. Tapi selain itu, mengkaji ulang masing-masing gagasan kita untuk menjadi kaya raya, saya rasa juga perlu.
Kita semua tetap boleh untuk bercita-cita menjadi kaya raya. Tapi, lebih dini dan lebih sering mengevaluasi konsep dan tujuan dari kaya raya, adalah sebuah cara untuk menyelamatkan masa depan kita dari jebakan lingkaran setan yang tak berkesudahan nantinya.
Pada titik ini, saya sangat bersyukur diamanati oleh Allah SWT Macbook Air ini. Ia (Mac ini), telah bekerja dengan sangat baik dalam memberikan Early Warning (peringatan dini) atas apa-apa saja yang mungkin akan saya alami nanti. Mungkin saya tidak bisa sepenuhnya menepisnya. Berbekal pengalaman dan pemaknaan ini, saya yakin, saya bisa lebih berkompeten dalam menanganinya. Pun dengan Anda.
Dan pada titik ini, pun saya juga bersyukur karena ibu saya telah ‘memilih’ untuk tidak mengajarkan tentang kekayaan pada saya selama ini. Sehingga, saya punya kesempatan untuk secara mandiri mengeksplorasi dan meraih pengalaman empiris pada Bab Kekayaan ini.
Eh, sebentar, sebentar.. Kok tiba-tiba saya teringat dengan adegan ibu saya mengajari saya berbagi di antara himpitan ekonomi sebagaimana yang saya ceritakan di atas tadi?
Jangan-jangan, itulah Bab Kekayaan yang telah beliau ajarkan?