Terbangun seorang pria. Terasa mengambang, entah di mana. Hanya terlihat bintik-bintik cahaya, yang terlihat mirip seperti cahaya bintang, berabad-abad tahun cahayanya. Terselimuti kabut kabut kosmik yang ungu nan indah. Terasa bingung, cemas, namun dalam bersamaan seperti familiar, rumah, dan bahkan kenyamanan. Sebuah perasaan yang tidak bisa dideskripsikan hanya dengan katakata, namun perlu dirasakan secara langsung. Tetap dalam ranah kebingungan, dia berusaha berenang di udara untuk menilik kondisi sekitar. Tidak ada, selain ruang hampa yang dingin di selimut kegelapan semesta. Terapung di lautan hampa semesta entah berapa lama, tetiba-tiba muncul sebuah cahaya. Putih, terang, nan suci, membentuk sebuah pintu. Dengan keingintahuannya, dia mengambang mendekat dengan pintu itu. Setelah itu, putih. Hanya cahaya putih suci itu yang dia lihat. Jikalau saja dia berada di dunia yang sama seperti bumi kita, mungkin mata dia akan terbakar akibat terangnya cahaya tersebut. Tapi tidak, dia mengetahui bahwa dia bukan di dunia yang sama seperti planet pertiwi. Rasa ingin kembali? Tentu ada di dalamnya, tapi terseimbangi oleh rasa rumah. Keinginan untuk meninggalkan, rasa ingin tahu kepada ke depannya. Pada akhirnya setelah tidak ada yang tahu berapa lamanya dia di sana, sebuah celah, sama seperti pintu cahaya, namun di belakangnya ada rerumputan hijau, muncul. Dia berjalan, jikapun bisa dibilang seperti itu di ruangan di mana gravitasi tidak mematuhi hukum natural bumi, menuju padang rumput itu.
Memasuki gerbang antar dimensi, tidak ada. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang dia observasi, kecuali tumbuhan tentunya. Pepohonan yang rindang nan tebal. Tidak ada hewan, serangga, unggas, ataupun manusia sesama di sana. Hampa. Namun hanya merasakan keberadaan dia sendiri, jiwa manusianya. Tidak ada yang lain namun sebuah kehadiran, kehadiran sesuatu yang dia tak mengerti. Cahaya terang yang tidak dia ketahui. Apakah sebuah makhluk atau sesuatu yang lebih. “Tidak tahu” yang dia pikirkan di sana. Berjalan di atas lautan hijau, kering, sepoi-sepoi, tanpa arah. Di ujung pandangannya, ada bukit. Tidak terlalu tinggi, cukup rendah. Anak-anak pasti bisa lari naik turun dengan aman di situ. Tampak ada pohon beringin. Tidak besar tidak kecil, tetapi cukup. Tersepoi-sepoi, jika bisa dikatakan oleh angin kering alam itu. Anehnya, pohon ini mengingatkan dia tentang pekarangan yang berada di belakang rumah masa kanak-kanaknya. Memori indah, memori yang tidak bisa dilupakan, memori kerinduan. Dia duduk sebentar di sebelah pohon itu. Melihat ke atas dengan tatapan kaget bahwa langitnya bercahaya putih. Putih tanpa redup sedikit pun. Awan di langit bahkan tidak tampak, jika mungkin ada awan. Matahari dan bulan pun tidak tampak. Dan hanya yang bisa tampak, adalah kejelasan bahwa siklus malam dan siang tidak ada di dimensi atau dunia ini. Ya tidak tahu juga apakah matahari juga terbentuk di sana. Walaupun merasa aneh, kaget, bingung, dan bahkan terpukau dengan keindahan langit putih suci. Ada terasa rasa rindu, keinginan, ketertarikan di sini. Seperti ada rasa, “Sudah seharusnya, sudah seharusnya aku di sini” dia cakap di dalam hatinya.
Dia bangun, dan melanjutkan menjelajahi alam baru ini. Melalui alam yang penuh dengan kabut misterius. Kabut dengan warna yang tidak bisa dimengerti. Menerobos area hutan yang menjulang tinggi. Dedaunan menutupi cahaya putih di atas hingga hanya kegelapan yang terlihat. Takut? Iya tentu, tapi sudah terlalu jauh untuk putar kembali. Semakin jauh ke dalam hutan semakin gelap, dan sunyi. Untuk beberapa saat. Entah halusinasi dia atau bukan, “Aku mendengar suara itu, semakin mendekatiku, berlari menujuku, seperti urusan yang belum diselesaikan aku,” dia ucapkan, di dalam hatinya. Semakin dekat, mendekat, dan … stop. Berhenti.
Sampai di ujung hutan, tepian bioma ini. Terlihat tumbuhan sekitar belum selesai dibentuk, apa yang bisa dideskripsikan mengenai area di ujung itu seperti, sketsa yang belum disempurnakan. Hanya abstraknya saja. Sisanya kembali, putih berkilau, cahaya. Di ujung, beridiri sebuah rumah tua. Anda tahu rumah tua yang biasanya dibangun Pemerintah Belanda pada masa kolonial? Seperti itu pemandangannya. “Apakah aku mengingat prasasti satu ini, suatu prasasti untuk diri sendiri, prasasti yang penting dalam diriku, namun sekarang terpendam dalam dari segala permasalahanku,” bepfikir di dalam pikirannya. Berjalan dia di ruang hampa berkilau itu menuju rumah tua. Pintu tua yang usang dia buka dengan didobrak karena terkunci. Petama kali dia masuk dia melihat ruang tamu, yang familiar… “Ini adalah rumah” dia ucap sambil mengingat rumah dia di masa kecil, masa saat masih bocah. Tata letak kursinya, seperti letak L, masih sama persis. Gambar fotonya, sama dengan letak yang sempurna. Kaget dia melihat ruangan ini, mungkin bingung kenapa bisa ada ruangan seperti ini di alam yang berbeda. Terlebih prasasti lama dia ini sudah lama digusur untuk ladang perkebunan, salah satu faktor yang membuat dia harus terpaksa pindah dari rumah itu pada masa lampau. Senang dan bingung mungkin takut sedikit dan merinding, dia menjelajahi rumah tua itu. Akhirnya berujung di kamar dia, sinar berkilau dari korden kamarnya. Dia ingat selalu, cahaya itu setiap dia terbangun dari tidurnya. Di atas kasur terdapat foto keluarga, lengkap. Ada kakek, neneknya. Om dan tante. Ibu, ayah, adik, tapi tanpa dia. Saat menyadari itu, suara misterius itu terdengar lagi, seperti muncul dalam aura yang belum dia pernah rasakan.
Seketika lantai kamar, serta dinding, semuanya pecah. Bagaikan kaca yang dipecahkan oleh palu besar. Palu ini adalah suara mistik itu, dan kacanya adalah seluruh area di sekitar dia. Dari pecahan itu, ruangan menjadi ruangan hampa, tanpa objek. Sembari dia kebingungan, ketakutan, dan kaget, suara tersebut semakin keras, dan mulai jelas. Mungkin dapat dideskripsikan sebagai suara trompet yang bergemuruh terus-menerus. Sesuai pengetahuan manusia. Dalam kebingungan ini, dia dapat melihat suatu bentuk mulai tercipta. Manusia? Hewan? Setan? Tidak. Tidak seperti bentuk yang diketahui manusia. “Bentuk itu seperti bentuk kegelapan bentuk seperti geometris jika bisa dikatakan, diselimuti selimut kabut kegelapan, berantakan! Tapi aku tahu bentuk itu ada, tapi tidak dapat dipahami,” kutipan dia. Lantas dengan segera dia berlari sejauh-jauhnya dari itu. Menengok ke belakang, dia melihat itu semakin dekat. Bagaikan ingin meraih pria ini. Pada akhirnya ia terjatuh, padahal tidak ada lubang terlihat. Jatuh, terjatuh dengan menabarak yang bisa dideskripsikan seperti kayu transparan hingga akhirnya sampai di bawah. Di bawah mulai kembali terlihat bentuk-bentuk yang dipahami manusia. Kayu, pilar, batu bata. Dia terjatuh ke dalam ruangan parkir bawah tanah, yang dia ingat ada di daerah kota tuanya.
Sudah jatuh dari entah apa ketinggiannya, suara mistis itu terus mengikutinya. Bergegas dia lari dari ruangan itu. Terlihat tulisan Exit, keluar! Lari dia menuju tangga keluar itu. Membuka pintu, dia melihat seluruh lanskap kenampakan perbukitan. Bukit yang terlihat seperti mengapit sebuah sungai. Di sekelilingnya terdapat kota tua, kota yang familiar. Kota ini adalah kota semasa kecilnya. Perbedaan yang sangat tajam adalah setiap bukit ditutupi hutan tebal, pekat. Bagaikan sebuah batasan agar tidak melewatinya. Melihat ke atas, masih tetap, tidak ada tanda matahari dan bulan. Dia berjalan menurun menuju kaki bukit, mendatangi lembah itu. Memasuki jalan utama dan tiba di area kota tua itu. Dia menjelajahi kota tua itu dengan memanggul perasaan nostalgia yang berat. “Di sini adalah tempatku tumbuh. Tempat saat semua masih sederhana, tempat di mana tidak ada masalah, Oh alamku kembalilah,” sajak puitik ucapan dia. Dia bisa lihat toko tua keluarganya, rumah susun temannya, dan monumen paling penting, yaitu Sekolah Dasar pertama dia. Berkelana dia menuju sekolahnya, yang dia lihat sama, hal sama seperti dia di umur 7 tahun. Tata letak kelas, furniture, coretan di tembok, semua masih terletak sama. Pergi ke kelasnya, dia menumakan buku tulis, tas-tas, dan lain-lain. Dibuka tas tersebut, dia melihat foto kelas dia, dengan pmandangan tidak bisa dipahami lainnya. Foto itu tidak terdapat dirinya. Kembali kaget, dan setiap dia mulai merasa takut, suara mistis itu kembali terdengar, keras, dan mengeras. Seperti tuba dan trompet yang bergemuruh. Gemuruh yang seperti alat musik tersebut kemudian berubah menjadi gemuruh air. Dilihat dia di luar, sungai lembah tersebut meluap. Terjadi banjir besar dari sungai. Entah dari mana asalnya. Semakin lama semakin tinggi, semakin tinggi melalap semua kota tersebut. Yang awalnya adalah sebuah lembah dengan kota, sekarang menjadi danau yang luas dan dalam. Tenggelam dia dalam luapan air tersebut. Tetapi dia tetap bisa bernapas. Bernapas dan dia kembali bisa berjalan. Dan sesuatu yang dia liat mulai menjadi putih terang. Dia kembali ke ruangan putih tersebut. Karena dia masih mendengar suara gemuruh itu, dan dia masih trauma atas kejadian awal di ruangan ini, dia lari sejauh-jauhnya dari suara itu. Di ujung, tampak sebuah pintu. Didobrak dan ditutup kembali pintu tersebut dengan segera. Suara tersebut hilang, bersamaan dengan rasa gelisah dan takutnya. Beda dengan alam yang lain yang menawarkan pemandanga indah dan aneh. Di sini hanyalah ruangan rumah biasa. Saat mencoba menengok ke jendela, yang dilihat hanyalah putih terang saja. Dia mengelilingi rumah itu, rumah bertingkat dua. Dia lihat ke dapur di lantai satu, terasa familiar. Ada foto yang ditempel ke kulkas dapur. Mukanya tidak jelas, yang pasti seperti muka seorang ibu-ibu bersama anak laki- lakinya. Di meja makan terlihat seperti kalkulasi uang, dan ada kertas bertuliskan pembayaran utang. Kepala dia seperti tersetrum saat melihat kata tersebut. Seperti ada sesuatu yang tertinggal, dan dia ingin untuk menggalinya segera. Pergi ke ruang tamu, ruangan awal yang dia masuki. Sama hanya foto-foto dengan muka samar dan beberapa tulisan nama di atasnya yang tidak bisa dibaca. Seperti tulisan dalam bahasa asing. Pergi ke lantai dua. Dia melihat 3 ruangan, ruangan pertama terkunci. Dia pergi ke ruangan kedua, yaitu seperti ruangan anak kecil. Mungkin siapa pun yang pernah tinggal di sini adalah keluarga yang terkena beberapa masalah, yang bisa dipastikan ekonomi. Tapi tetap bahagia bersama, dari gambaran fotonya, mungkin. Anehnya di foto-foto ini pun tidak tampak kepala keluarganya. Mungkin anak ini hanya tinggal dengan ibunya? Ruangan ketiga adalah sebuah kamar mandi kecil, tidak ada apa-apa di sana kecuali atap loteng. Terlalu tinggi, dia harus mencari tangga. Pergi mencari tangga, dia menemukan pintu yang belum dibuka di lantai pertama. Itu adalah sebuah ruangan bawah tanah. Dibuka dan dinyalakan lampu, dia menemukan tangganya. Saat mengambil tangga tersebut, kembali terdengar suara gemuruh itu, suara ketidaknyamanan, gelisah, takut itu. Bergegas dia pergi ke atas. Bolak-balik menatapkan tangganya ke tembok hingga terlihat rusak karena ketakutannya itu. Sampai di kamar mandi, ditaruhlah tangga tersebut, dan ia sampai di loteng. Di atas terdapat kunci, mungkin kunci untuk ruang pertama tadi. Ada pula satu hal yang dia temukan membuat dirinya merinding. Tulisan “Apakah kau sudah ingat?”. Gemuruh kembali terdengar, dia lari ke bawah, terjatuh dari pintu loteng. Lalu langsung mencoba kunci itu di ruangan pertama. Dan dapat dibuka. Melihat ke belakang, dia kaget melihat lorong lantai 2 yang pendek berubah menjadi lorong panjang tanpa ujung. Dan di situlah ujung, suara gemuruh itu mendekatinya. Masuk ke ruangan itu, dia menutup pintunya dengan keras dan dikunci. Gemuruh masih terdengar.
Ternyata ini adalah ruangan kamar utama. Kamar orang tua dari anak ini. Tampak kasurnya lebar yang dapat diartikan ini adalah kamar yang ditinggali dua orang. Menginspeksi ruangan lainnya, ada lemari besar terkunci. Gemuruh semakin keras. Tergesa-gesa dia mencari kunci untuk lemari tersebut. Di meja, slorokan meja, di bawah kasur, akhirnya menemukannya di belakang kursi sofa di kamarnya. Suara gemuruh itu semakin keras, seperti di depan pintu kamarnya. Dia mengambil kunci dan bergegas membuka lemarinya. Dibuka. Dia melihat foto 3 orang, sebuah keluarga. Ayah, ibu, dan anak laki-lakinya, tapi masih buram, masih tidak bisa dipahami wajah mereka. Melihat ke belakang, ruangan berubah menjadi lorong. Dan di ujung ada suara itu, dengan bentuk yang tidak dipahami otak manusia. Apa yang bisa diasumsikan tangannya seperti meraih dia.
Namun dalam hal ini, dia sudah muak. Sudah muak dikejar terus-menerus. Sudah capek menjadi sasaran pengejaran, mengambil napas yang dalam, dia katakan, “Aku sudah lama berlari, melarikan diri dari kejaran, namun sekarang aku mengetahui, untuk sekarang kamu dihentikan!” sembari memukul suara itu pergi darinya. Pecah yang bisa dideskripsikan dari makhluk itu setelah dipukulnya, bersamaan dengan ruangan kamar tersebut. Sekarang hanya dia, di dalam kegelapan ruang dan waktu. Serta … gambar tersebut. Dilihat kembali dia, dan dia mengetahuinya sekarang. Dengan wajah-wajah yang familiar. Bagaikan melihat cermin. Bukan cermin tepatnya karena memang itulah foto dia, istriya, bersama anaknya. Satu-satunya foto di mana dia terlihat. “Akhirnya kau mengingat?” terdengar suara dari jauh. “Iya aku mengingat,” jawabannya.
Muncul cahaya putih cerah, menurun dari atas. Sekeliling yang gelap berubah menjadi putih cerah dengan bentuk-bentuk berwarna-warni yang belum ditemukan di bumi ataupun alam semesta. Bergetar badannya saat bertemu dengan cahaya putih itu. “Wahai cahaya cerah, siapakah engkau?”, dia bertanya. “Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah apakah aku,” jawaban dia.
“Lalu, apakah engkau?” sang pria balik bertanya.
“Aku adalah cahaya, ciptaan dari yang Mahakuasa, waktuku hanyalah untuk tugas-Nya, dan kamu adalah salah satu dari tugasnya,” cahaya itu menjawab.
“Dalam perjalananku mencapaimu, aku telah bersaksi atas segala hal yang terjadi di masa laluku, dari tidak ada, menjadi ada, dan sekarang. Apa-apa yang terjadi di sini benarlah di luar logika manusia fana. Terikat dengan aturan dunia yang sementara. Betapa pemandangan yang saya lihat. Telah ditampakkan rumah masa lampauku, nostalgiaku, dan akhirnya pada sekarang, keluargaku. Tapi dalam keindahan ini, adanya penganggu yang tidak bisa dihindari. Aku berhasil menaunginya,” ucapan pria tersebut.
“Oh wahai cahaya utusan-Nya. Apakah tujuan dari kejadiankejadian ini?” pria tersebut bertanya. “Manusia fana! Akan datang waktu di mana kau meninggalkan alam fana ini. Datang di mana masa engkau akan ditimbang atas amalan engkau, dan menuju jembatan kebahagiaan yang abadi! Segala yang kau harapkan akan dikabulkan, di mana makhluk datang dengan suci tanpa kotoran sedikit pun. Pada akhirnya kelak akan kembali kepada-Nya. Kau manusia kecil, akan menerima atas nikmat-nikmat yang akan dijanjikan!” tegasnya cahaya tesebut.
“Akankah aku akan bahagia? Dengan penuh nikmat? Sementara tugas-tugasku dalam alam fana masih menunggu diselesaikan. Dengan segala kerinduan, nostalgia, dan perasaan hak yang harus ditepati, aku membutuhkan ini. Tapi dalam kondisi ini, tidak. Tugasku masih berjalan tanpa arahan,” tegasnya pria tersebut.
“Makhluk fana, bijak adalah dapat dikatakan dari kamu. Ketahuilah engkau adalah salah seorang penakluk tindak keegoisan. Ketahuilah manusia bahwa aku sampaikan adalah akan, bukan kemarin, besok, maupun lusa. Ketahuilah pula tugas-tugas engkau! Karena ketahuilah pula! Bahwa waktu itu tidak ada yang tahu kecuali di genggaman tangan-Nya. Dan ketahuilah, di sini dimana kau akan terbang kembali kepada tugas kau. Terbanglah kembali merpati kecil!” cahaya tersebut menyaut. Pria tersebut akhirnya terbang dan kembali ke asalnya.