Sladiano Rifky Ilham Pratama
SMPIT NUR HIDAYAH SURAKARTA
Malam ini adalah malam istimewa bagiku. Sudah lama sekali rasanya suasana seperti ini tidak kurasakan. Suara jangkrik dan embusan angin malam benar-benar membuatku nyaman berada di teras rumah. Sejak dua hari yang lalu aku sendiri di rumah dan aku sama sekali tidak terganggu dengan hal itu. Malam ini merupakan malam terjadinya gerhana bulan, sehingga aku pun tertarik keluar kamar dan melihatnya. Warna merah yang menyilaukan mata membuatku tak bosan memandangnya selama aku menginginkannya. Tak terasa gerhana bulan pun telah usai, tapi aku masih berada di teras dan memikirkan gerhana tadi yang masih saja terbayang-bayang di kepalaku. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan.
Waktu telah menunjukkan pukul 23.15, udara semakin dingin membuat tubuhku mulai menggigil. Walaupun aku ingin masih berada di teras dan terus memandangi foto gerhana bulan yang telah aku abadikan di smartphone, namun udara dingin membuatku harus masuk ke rumah. Sejenak aku menatap keadaan dalam rumah. Di ruang keluarga yang biasanya ramai kini tidak ada seorang pun, begitu pula dengan ruangan yang lainnya. Suara tawa dan ribut dari orang tua dan saudara-saudaraku sama sekali tak terdengar. Aku tidak mendengar apa pun di dalam rumah, hanya hening dan suara cicak yang sesekali berbunyi. Dan inilah yang kutunggu tunggu selama ini.
Aku pun masuk ke kamar dan langsung berbaring di atas kasur. Aku menatap tajam jam dinding yang terpampang, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 23.53. Karena belum merasakan kantuk, aku memutuskan untuk membuka sosial media di laptop. Kini aku telah berada di dunia maya, aku tidak lagi merasa kesepian. Kulihat status dan story teman-temanku, mereka semua terlihat senang dan bahagia dengan dunianya masing-masing. Aku tahu foto yang mereka kirim ke status dan story mereka cuma sekadar ingin membagikan pengalaman mereka ke orang lain, tapi entah mengapa rasanya sudah lama aku tidak mengalami hal yang mereka bagikan di sosial media.
Walau begitu, yang penting sekarang aku sendiri dan itulah hal yang membuatku sedikit tenang. Aku tidak suka bergaul dengan orang lain karena mereka hanya bisa meminta tolong dan menyusahkan saja. Oleh karena itu, aku tidak suka bergaul dan lebih suka menyendiri. Baru 10 menit bermain media sosial aku sudah jenuh, maka kututup media sosialku kemudian beralih dengan bermain game. Berjam-jam waktu kuhabiskan untuk bermain beberapa game online maupun offline. Mataku tak henti- hentinya kupaksa untuk selalu terjaga, kugunakan headset di telingaku. Itu semua kulakukan untuk mencegah rasa kantuk yang mulai kurasakan.
Detik demi detik terus berlalu. Level demi level, stage demi stage, pangkat demi pangkat terus kukejar. Mata ini rasanya ingin meleleh, telinga ini seakan pecah, kepala rasanya ingin meledak, ku tak hiraukan semua itu. Aku sudah terlanjur larut dalam game ini. Tanganku begitu cekatan dalam mengendalikan karakter game membuatku semakin asyik memainkannya.
Namun, tiba-tiba mati lampu, suasana menjadi gelap seketika. Aku yang masih fokus bermain game sangat terkejut bukan main. Suasana mendadak menjadi mencekam ditambah keadaan di dalam rumah benar-benar gelap. Bukan itu saja, aku juga terkejut melihat jam karena sudah menunjukkan pukul 02.47 dini hari. Di tengah keadaan gelap seperti itu, kumantapkan untuk mencari lilin di sekitar ruang keluarga untuk mencegah adanya hal-hal yang tak kuinginkan.
Sayangnya setelah kucari di sekitar ruang keluarga, aku tidak menemukannya. Aku mencari di ruang tamu, kamar orang tua, kamar saudara, dan gudang. Aku sama sekali tak menemukannya. Dengan terpaksa aku harus ke luar rumah untuk membeli lilin. Suasana tak biasa kurasakan ketika berjalan menuju toko. Keadaan kota benar-benar gelap, tak ada satu pun lampu yang menyala dan aku tidak melihat adanya orang.
Sepi dan hening, itulah yang ada di benakku ketika melewati jalan umum. Di sini tak ada kendaraan sama sekali, bahkan tidak ada orang satu pun. Walau sedikit takut, aku tetap melangkahkan kakiku menuju toko. Papan iklan toko sudah mulai terlihat, aku segera mempercepat langkahku menuju sana. Sebelum aku masuk ke toko, aku mengamati keadaan di dalam toko. Seperti yang sudah kuduga, di sana tak ada seorang pun dan juga gelap.
Walaupun begitu aku tetap nekat untuk masuk ke dalam toko tersebut. Aku penasaran dengan apa yang sedang terjadi di sini, siapa tahu ada orang yang bersembunyi karena takut? Rasa takut mulai muncul ketika aku melihat pintu depan seperti ada yang mendorong, seakan-akan ada yang masuk selain aku. Bulu kudukku seketika berdiri membuatku semakin takut.
Belum sempat keluar dari toko tersebut, sosok bertubuh tinggi dan besar memandangiku. Kupikir dia adalah pemilik toko tersebut, sehingga aku menyapa lalu menghampirinya. Dia diam saat aku menanyakan tentang dirinya dan apa yang sebenarnya terjadi di kota ini. Dia hanya terdiam sampai dia mengambil sesuatu dari balik punggungnya yang ternyata itu adalah palu berukuran besar! Dia memandangiku sambil mengangkat palunya seakan-akan ingin memukulku.
Tanpa berpikir panjang aku langsung berlari keluar dari toko itu, tetapi dia masih saja mengejarku. Kecepatan berlarinya sungguh mengerikan. Aku berteriak meminta tolong, namun tak ada orang yang menolong. Aku terus berlari dari kejaran makhluk itu. Kemudian aku sampai ke rumah. Sesampai rumah aku langsungn spontan mengunci pintu depan, belakang, dan gerbang walaupun keadaanya masih gelap. Di dalam rumah aku mengintai lewat jendela, berjaga-jaga apabila makhluk itu masih mengikutiku.
Jantungku berdetak bukan main, aku benar-benar ketakutan apabila makhluk itu masih mengikutiku sampai rumah. Dan benar saja, dari jendela aku melihat makhluk tersebut seperti sedang mencari sesuatu yang pastinya adalah aku! Aku langsung bersembunyi di bawah kasur sambil berharap makhluk itu pergi dari sini. Beberapa saat kemudian terdengar suara berisik di belakang rumah. Tadinya aku berpikir bahwa suara itu berasal dari makhluk tersebut, namun aku tetap ingin memastikannya.
Untuk sekadar berjaga-jaga aku membawa sebilah celurit dari gudang. Aku hampiri sumber suara tadi, alangkah terkejutnya aku mengetahui bahwa itu hanyalah anjing yang sedang mengais-ngais seng. Aku langsung mengusir anjing tersebut. Aku langsung kembali ke kamar sambil membawa celurit. Aku kembali mengintip keadaan luar melalui jendela. Tanpa kusadari makhluk itu melihatku! Sontak aku panik dan gemetaran. Makhluk ini memanglah perkasa, dia mampu menghancurkan pagar rumahku dengan palunya. Di tengah suara gemuruh itu dengan cepat aku keluar kamar untuk melarikan diri. Saat hendak menggapai pintu depan tiba-tiba makhluk itu menghancurkan dinding tepat di depan wajahku.
Hanya berbekal celurit, aku mencoba melukainya. Aku membacok leher bagian belakang makhluk itu. Aku melihat makhluk itu dari dekat dan aku sadar bahwa dia bukanlah manusia. Setidaknya akibat dari perbuatanku tadi, dia sedikit terhambat untuk mengejarku, sementara aku langsung kabur meninggalkan celurit yang masih tertancap di lehernya. Tubuhku benar-benar lelah, aku seperti terombang-ambing di antah-berantah, tidak memiliki tujuan.
***
Rasa lelah ini tak lagi terbendung, maka aku bersandar di pohon sambil bernyanyi untuk sekadar menghibur jiwaku. Ku terus menunggu namun tak ada kepastian. Kini aku merasa hidupku sia- sia, selama ini aku hanya memikirkan diriku, padahal aku ini manusia bukan robot yang bisa hidup karena diaktifkan. Aku ini adalah manusia, aku bisa terus bertahan hidup karena kasih sayang dari sesama manusia, terkhusus keluargaku. Kini usai sudah, aku tak tahu bagaimana kabar keluargaku. Keinginanku sekarang juga sudah terwujud, lantas apa selanjutnya yang harus ku lakukan.
Aku masih bersandar di sini, melihat seluruh kota seperti goa yang sangat gelap dari pohon ini. Keheningan ini sontak hilang ketika aku mendengar suara yang sangat keras dari sekitar daerah pinggiran kota. Suara ini terdengar seperti singa tapi ini jauh lebih dahsyat. Aku segera bangkit dari posisiku, ternyata suara tadi adalah suara makhluk itu. Dari kejauhan aku bisa melihat dia lari dengan kecepatan yang tidak main-main. Dengan sisa energi yang masih kumiliki aku berlari sejauh mungkin.
Makhluk itu terlihat sangat marah, dari suara dan tatapan matanya dia ingin sekali membuatku menjadi seperti muntahan bayi dengan menggunakan palu besarnya. Aku sudah mulai kelelahan lagi, namun makhluk itu masih saja mengejarku dan akhirnya, makhluk itu berhasil menghancurkan telapak kakiku. Aku menjerit kesakitan, sementara makhluk itu bersuara sangat mengerikan. Telapak kakiku hancur membuatku tak dapat berlari lagi.
Walaupun begitu aku menguatkan diriku ‘tuk terus melaju, rasa sakit ini memang tidak bisa ditahan, tapi apa boleh buat. Selagi makhluk itu masih sibuk bersuara aneh-aneh, aku melihat seperti ada semacam markas militer di atas bukit dekat tempatku sekarang, aku berpikir mungkin masih ada peluang untuk selamat. Aku berusaha berlari dengan sekuat tenaga mencapai bukit tersebut. Sayangnya makhluk itu tahu apa yang akan kutuju, makhluk itu kembali berlari secepat kilat untuk mengejarku.
Aku hanya bisa pasrah. Akibat pendarahan hebat di kaki, tubuhku rasanya tak bertenaga seperti kehabisan darah. Mungkin inilah akhir dari diriku yang “no life” ini. Makhluk itu semakin mendekat dan bersiap untuk menghantamku dengan palu, aku masih bisa berjalan sedikit untuk menuju markas militer yang sudah ada di depan mata. Momen ini begitu dramatis menurutku, di mana aku tahu pasti setelah ini aku akan mati.
Aku berhasil menggapai tembok kawat markas militer tersebut, namun makhluk itu ikut loncat ke sisi lain dari tembok kawat itu, yang menyebabkan tembok kawat yang dia naiki roboh. Aku mengetahui jika di markas militer ini terdapat ranjau darat yang terpasang tepat di balik tembok kawat, sehingga terjadi ledakan yang cukup besar karena makhluk itu terjun bebas di zona yang penuh dengan ranjau darat. Seketika makhluk itu seperti menjadi bubur.
Entah apa yang kurasakan saat ini, yang jelas aku turun dari tembok kawat itu dan menghindari ranjau darat, lalu masuk ke markas militer. Aku mulai merasa ingin pingsan karena mungkin darahku hampir habis, beruntungnya di sini terdapat perban dan beberapa kantong darah. Aku membalut telapak kakiku dan menyutikkan kantong darah ke tubuhku. Dan aku sudah menebaknya bahwa tak ada seorang pun di tempat ini.
Dari sini aku sadar bahwa aku adalah makhluk sosial, aku tidak bisa hidup sendirian di muka bumi ini. Dari sini aku juga sadar, sudah tak mungkin lagi aku bisa bertemu kembali dengan keluargaku. Sampai detik ini aku juga tidak tahu makhluk apa yang tadi kuhadapi. Aku sadar aku tidak banyak tahu tentang kehidupan ini. Cahaya silau kurasakan dari dalam markas ini. Ternyata itu sinar terang dari mentari yang membuatku meneteskan air mata. Aku berharap semua hal yang kualami ini adalah mimpi buruk belaka.